Selasa, 19 Mei 2009

hati yang sepi

Semalam, kau hadir dalam mimpiku. Senyummu mengembang, bibirmu ucapkan kata-kata yang lembut dengan sesekali tergelak tawa dari canda yang terlantun.

Kau begitu nyata meski hanya untuk sesaat. Ku ingin hentikan sang waktu, persilakan malam tetap mencengkeram, lelapkan mentari dalam peraduannya, sehingga pagi tak menjelang, dan kau tak turut menghilang. Namun, aku tak miliki kuasa untuk melakukan itu semua.


Hatiku begitu sepi. Tanpa hadirnya dirimu. Aku tahu, aku memang bodoh. Tak berani ungkapkan perasaanku padamu. Tapi aku selalu berkaca. Siapa diriku? Aku tak tampan, aku tak pandai, dan aku juga tak kaya. Betapa lancangnya diriku bila ternyata aku berani ungkapkan rasa itu. Kau begitu sempurna, tak pantas untuk menjadi milikku yang selalu papa.

Ku hanya mampu mimpikan dirimu. Harap kita selalu bertemu, bertatap muka, dan berkata-kata dengan diselingi canda yang ceria.

Jarak terkadang lancang, memisahkan dua insan yang berbeda. Walau zaman telah maju, sinyal radio bergentayangan di seantero bumi, kendaraan berkelebat cepat, namun semuanya seakan tak mampu pupuskan rinduku. Ku selalu berharap kau disana selalu baik-baik saja, selalu ceria, selalu bahagia, meski lautan, jarak, dan waktu bahu membahu membentuk suatu spektrum pemisah antara kita.

Aku kan selalu ada, kala kau bahagia atau pun duka.

Terkadang aku menantang sang duka, ingin menderanya dalam segenap siksa, bila ia berani menghampiri dirimu, meski sesaat.

Namamu selalu terangkai dalam bulir-bulir munajat yang senantiasa terpanjat seusai lima shalatku.

Entah sampai kapan rasa ini terpendam. Aku sendiri tak tahu. Sebab bibirku serasa kelu, bila mendengar suaramu diseberang sana. Aku tak mampu ungkapkannya. Ya, seperti kataku tadi, aku tak pantas untukmu.

Sebentar lagi kau wisuda, sedangkan aku belum apa-apa. Bahkan aku pun tak berani tanyakan, apa kau akan pulang setelahnya? Ataukah akan menetap disana? Meskipun tanya itu dapat terselip dalam canda, sedikitpun tak berani ter-udara.

Cutie, aku tak tahu lagi apa yang ingin kutuangkan dalam baris-baris kata tak terucap ini. Entah apa kau melirik baris-baris ini, walau sedikit. Atau mungkin kau memalingkan diri darinya. Anggap baris-baris ini tak pernah ada? Anggap baris-baris ini tak pernah tercipta? Anggap baris-baris ini tak bermakna? Aku tak peduli. Karena hanya melalui baris-baris inilah aku mencurahkan apa yang berkecamuk dalam jiwaku.

'Meine Traurigkeit' menggambarkannya jelas. Bila kau mengerti...

3 ulasan:

pakcik riduan mimpi sape ni? :D

hehe..ada la mimpi kat seseorg pujaan mana tau huhu

Catat Ulasan

Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More